Jumat, 29 April 2011

Beberapa waktu lalu perhatian kita tertuju kepada haru biru Internet di Indonesia. Belum selesai pihak Kepolisian Republik Indonesia menangani kasus prostitusi dan perjudian via Internet, masyarakat dikejutkan dengan terbitnya sebuah komik elektronik berbahasa Indonesia yang menistakan Nabi Muhammad Saw dan menyakitkan hati umat Islam di negara berpenduduk Muslim terbanyak di dunia ini. Beberapa waktu lalu perhatian kita tertuju kepada haru biru Internet di Indonesia. Belum selesai pihak Kepolisian Republik Indonesia menangani kasus prostitusi dan perjudian via Internet, masyarakat dikejutkan dengan terbitnya sebuah komik elektronik berbahasa Indonesia yang menistakan Nabi Muhammad Saw dan menyakitkan hati umat Islam di negara berpenduduk Muslim terbanyak di dunia ini.
Figur suci yang menjadi panutan ummat sedunia digambarkan begitu rendah, amoral, angkuh dan sembrono. Tentu saja ini merupakan tindakan provokatif dan sudah tidak dapat disembunyikan lagi di balik kedok kebebasan bersuara.
Yang menjadi perhatian kita adalah bahwa kasus ini terjadi di Internet, yaitu media lintas teritorial dengan ekologi tersendiri. Tidak seperti media-media massa konvensional seperti media penyiaran (TV, Radio) atau pers cetak, pemuatan informasi di Internet dapat dilakukan oleh siapa saja yang tersambung ke jaringan Internet, bahkan tanpa harus memiliki perangkat komputer sendiri atau berlangganan koneksi secara langsung.
Konsekuensinya, informasi yang dimuat di Internet biasanya tanpa melalui proses editorial sehingga tidak terkontrol dari segi kualitas, format, substansi, sensitivitas informasi ataupun dari segi keabsahan sumber informasi tersebut.
Fenomena pemuatan komik penghinaan di blog ini bukan yang pertama kali terjadi, dan hampir pasti bukan yang terakhir. Jika kita telusuri, masih banyak situs di Internet yang mengandung pencelaan terhadap Islam, baik yang berupa gambar, animasi, teks, audio maupun video. Sebagiannya menyajikan diskusi dan bantahan dari umat Islam sendiri yang merespon secara langsung.
Terlepas dari perbedaan motif yang melatarbelakanginya, pemuatan informasi yang bersifat non-etis, asusila dan anti sosial ini juga bukan fenomena Indonesia saja. Hampir setiap negara yang memilih untuk membuka masyarakatnya ke era informasi terpaksa berhadapan dengan tantangan seperti ini. Bedanya adalah, nilai sosial yang tidak sama membedakan materi apa yang dianggap tidak sesuai atau perlu dibatasi.
Di Amerika Serikat, misalnya, pembatasan muatan informasi Internet diarahkan terhadap muatan yang bersifat eksploitasi seksual terhadap anak. Di Australia dan Singapura pembatasan mencakup muatan kekerasan. Ketika Cina membatasi muatan pornografis dan anti-komunisme, Thailand lebih bermasalah dengan muatan yang mencela raja mereka.
Di banyak negara Eropa daratan seperti Jerman dan Perancis, muatan yang bersifat anti-semitisme dan pemujaan nazisme merupakan hal yang tabu bahkan dilarang. Sampai-sampai dua perusahaan mesin pencarian raksasa Google dan Yahoo! pernah dipermasalahkan karena menyajikan entry berbau nazisme dan anti-semitis bagi komunitas Internet disana. Di negara-negara Muslim, logis saja, muatan yang menistakan ajaran Islam –seperti pelecehan terhadap Nabi Muhammad dan Al-Qur’an– tidak akan bisa ditolerir.
Benang merah yang bisa ditarik disini, di kehidupan masayarakat manapun di dunia ini, nilai etika (dan hukum) yang dianut tidak akan hilang begitu saja hanya karena mereka sudah mengadopsi Internet dan menjadi bagian dari masyarakat informasi dunia.

Pada bagian lain kita singgung tentang munculnya persinggungan antara masyarakat informasi dan etika yang hidup dalam masyarakat itu sendiri (lihat posting ‘Masyarakat Internet dan Etika Sosial’). Pada kenyataannya, masih sering terjadi dimana-mana gejolak dan perselisihan yang melibatkan pemuatan konten yang dianggap melecehkan, baik itu dilihat dari aspek sosial, agama, budaya, politik, dan lain-lain. Isu-isu seperti ini datang silih berganti. Apakah gejolak ini merupakan kutukan bagi masyarakat informasi?
Tentu bukan, tapi lebih tepatnya, inilah tantangan masyarakat informasi dimana hak berpendapat dan memperoleh informasi menjadi elemen inti. Meminjam istilah Guru Besar Cyberlaw dari Universiti Malaya,Profesor Abu Bakar Munir dalam karya terbarunya State, Internet and Information, informasi adalah ‘oksigen’ bagi kehidupan demokrasi di dunia teknologi sekarang ini.
Di Indonesia hal ini sudah direfleksikan dalam UU No. 14/2008 tentangKeterbukaan Informasi Publik. Namun, kebebasan ini tentunya diletakkan di dalam koridor kepentingan umum. Hal ini jelas dinyatakan dalam ketentuan perundangan mengenai hak asasi manusia (HAM) di Indonesia seperti UUD 1945 dan UU No. 39/1999 tentang HAM, maupun di dalam traktat internasional seperti Deklarasi HAM PBB dan Konvensi Eropa tentang HAM.
Di semua dokumen itu tersurat dan tersirat bahwa hak berpendapat dan memperoleh informasi dibatasi oleh eksistensi hak orang lain dan kepentingan publik seperti pemeliharaan ketertiban masyarakat, kesusilaan dan kepentingan bangsa.
Pemuatan informasi yang dianggap anti-sosial akan terus tumbuh di Internet. Bagaimana kita menyikapinya? Untuk insiden yang telah terjadi, kita berharap aparat berwenang meneruskan usaha penyidikan dan penyelidikan sepatutnya sekaligus membuktikan efektivitas UU cyberlaw kita.
Namun perlu dipahami bahwa tantangan yang bersifat kontinyu perlu ditangani dengan solusi yang berkesinambungan pula. Perangkat hukum memang penting, namun bukan satu-satunya jalan untuk memecahkan permasalahan. Perangkat hukum yang tidak dibarengi dengan perangkat teknologi dan solusi sosial hanya akan berfungsi seperti ‘pain killer’ atau obat penahan sakit. Sesudah pengaruh obatnya habis, maka permasalahan yang ada akan kembali lagi.
Selain perangkat hukum ada perangkat lain yaitu perangkat teknologi dan rekayasa sosial. Perangkat hukum dan perundangan berfungsi memberikan kepastian hukum dengan menjelaskan hak dan kewajiban tiap orang yang terlibat. Perangkat teknologi berfungsi mengembalikan Internet ke khittahnya, yaitu teknologi yang membantu kehidupan manusia untuk penyebaran informasi, media komunikasi dan kesejahteraan ekonomi manusia.
Perangkat sosial juga tidak kalah penting. Faktor-faktor seperti kesadaran masyarakat, pengamanan sosial (kontrol keluarga, sekolah, lingkungan kerja, komunitas), kerjasama pemangku kepentingan (pemerintah, industri dan pasar), dan pemberdayaan pengguna untuk pemanfaatan teknologi, semuanya merupakan mata rantai penting dalam proses penataan bersama muatan di Internet.
Dalam trend dan norma kerangka pengaturan, metode penataan bersama ini dikenal sebagai mekanisme pengaturan bersama (co-regulatory mechanism). Dalam sebuah konferensi tentang konten Internet di Oxford, Peter Coroneos, ketua Asosiasi Industri Internet Australia, mengaku bahwa metode ‘co-regulatory’ ini merupakan pilihan yang paling strategis dan produktif dalam mengatur muatan Internet.

Categories:

0 komentar:

Posting Komentar

Subscribe to RSS Feed Follow me on Twitter!